1
Seperti hari ini aku mendekam kepusat sunyi. Rumah-rumah itu kemudian hilang. Kita masih juga bercakap-cakap pada malam itu. Disebuah ruangan yang gelap. Diantara tuak-tuak bersileweran dan ruangan tamu yang penuh orang jawa,dialog mereka membuatku pusing.
Diluar daun-daun rontok mengingatkanku pada sebuah kematian yang indah, dan terdengar Tagore berucap “Wahai maut, wahai kematian berbisiklah padaku” kemudian diriku hanyut pada sepotong sajak Da Vinci yang melebur diotakku. Sebuah kopi hangat masih menemaniku dengan buku-buku yang bertumpuk. Entah kenapa mukaku pucat. Pasi dan hp berteriak-teriak dari tadi. Dunia kian sunyi.
2
Diantara puntungpuntung rokok yang menyisahkan tanya di ruang tamu yang suram tentang sebuah buku Nietzsche yang lecek dihalaman 49. kutempatkan diriku pada jendela model Victorian. Lagi-lagi terlihat kau membawakan segudang kebisuan yang membuat kita lebih asing dan sunyi. Pertemuan kita hanya sebuah cahaya yang tersumbat di dalam pelipis yang mati. Sedang dijalan-jalan sempit ini ada ruang sunyi.
3
:lagilagi ada Koran tergeletak murung diruang kostku. Menceritakan tentang sebuah sajak yang terjepit diketiak kau.
Ups! Aku takkan mampu membuat kemarau didalam setiap kesempatan yang kau berikan. Berikan saja pada kopiku yang sudah basi. Sehingga lampu-lampu di jalan Gejayan gedong kuning putus. Menjadikan mataku terkena pucratan-pucratan yang perih terkena aroma sang sunyi. Lagi-lagi dijalan yang melingkar itu ada laron yang bercinta dengan cahaya. Sementara kopi diruang tamu terus melahirkan asap yang terus berebut keluar dari pusatnya
Jogjakarta November 2007
Sabtu, 15 Desember 2007
Langganan:
Postingan (Atom)