Senin, 25 Mei 2009

Sajak Penyakit


aku ingin merokok di dalam hatimu

lalu, abu-abunya kutinggalkan di dalamnya

agar kita sakit bersama-sama. menikmati

kegagalan demi kegagalan yang di jemput

tempo hari


sudah berapa lama, kau menghirup

asap-asap liarku. sakitlah bersamaku,

membangun kembali kurikulum-kurikulum

tuhan, yang kita runtuhkan sejenak. sejenak.


selagi musim gugur masih mengganggur di pojok

sana.



Rabu, 01 April 2009

Di Kiaracondong



Aku tinggalkan ruang sunyi itu
Kembali menikmati kegagalan ini
Beberapa saat, setelah bus tanpa plat nomor
Membawaku ke tempat suara-suara lokomotif
Diperdengarkan, membuat kuping kita menjadi
Mengerut dan sedikit merah. Adakah kau di sana
Menungguku dengan bunga-bunga Jogja di tanganmu
Saat malam kian memutih di rambut keritingnya,
Adakah kau disana, membacakan sajak-sajak kasmaran
Mengasih uang recehan untuk pengemis, dan sedikit melirik ke baliho-baliho para caleg yang sedang menangis.

Tapi disini, setelah mendung sudah berganti
Dengan pasukan hujan, jejakmu sudah mulai pudar.
Lalu rindu itu sudah di deteksi oleh kegagalan yang kita
Buat bersama. Lalu kubayangkan wajahmu dengan
Lukisan-lukisan surealis Dalli, sambil dalam hati
Aku tertawa sendiri. Stasiun ini sudah menyimpan
ayat-ayat gelisah para penyair, dalam bentuk yang sangat
teduh dengan bahasa-bahasa kasmarannya.

Lalu bisakah kuhayati
Hujan ini menjadi, semacam isyarat. Bukan isyarat
Musik dangdut atau senyum para caleg, tapi sebuah
Ketetapan-ketetapan yang kita buat bersama-sama.
Isyarat kegagalan.

Rabu, 25 Maret 2009

Artikel: Nietzsche Sebuah Dialektika Psikologis Manusia


“kehendak Untuk Berkuasa” sebuah garis besar untuk memperjuangkan paradigma berfikir kegarda yang lebih luas. Kebudayaan berfikir tentang pop-populer haruslah diliburkan dan diganti dengan budaya mahhabah untuk mentafakuri epistemologis yang lebih menonjol dan kuat, Intinya untuk perkembangan seremorial hakikat. Ketika Nietzsche bersahut-sahut “kehendak Untuk Berkuasa” disini muncul konfrontasi untuk meninjau lebih dalam makna keilmuan akan perkembangan suatu kekuasaan, tidak salah ketika filsuf asal Perancis Francis Bacon dengan teorinya berujar Ilmu itu adalah kekuatan. Kekuatan lintas berfikir, kekuatan sekaligus kekuasaan untuk meredam suatu paradigma yang ugal-ugalan, paradigma yang diracuni oleh ketaklidan semata. Saya menafsirkannya sebagai epistemologis yang hakiki, yah semacam kemandirian ilmu yang logis dan itu semua bersemayam kepada rasio. Dan kemandirian ilmu berfikir itu bersumber pada Freidriech Nietzsche. Nietzshe adalah sebuah simbol kemajuan berfikir, lahir dari keluarga yang taat beragama yang ingin lepas dari semacam pembredelan seperti itu. Pemberontakkan diam-diam yang lahir dari kejenuhan berfikir manusia dizamannya. Kebudayaan yang boborok yang disembah-sembah, gaya berfikir yang tak sesuai akan nurani, ide ketunggalan yang menjadi kewahidan manusia. Pada titik inilah kelihatan Nietzsche mendukung pesimisme sama suramnya, jika bukan identik dengan Schopenhuer. Tetap ia menunjukan bahwa, bahkan pemikiran yang radikal diperlukan untuk menghadirkan struktur berfikir yang mempesona.

Nietzsche lalu mengajukan pertanyaan: dari mana kita menarik rasio yang membuat kita percaya pada kebenaran pernyataan-pernyataan presitius itu? Menurut Nietsche, Kant telah gagal menjawabnya. Sedangkan Jawaban dari Nietsche adalah: dari kepercayaan. Dan kepercayaan semacam ini sebenarnya adalah masalah psikologis antar dialektika. Kehendak untuk berkuasa, dilihat dari segi ini, manusia tidak lebih dari pada sebuah entitas atau satuan kekuasaan yang terus menerus hendak mengaktualisasikan diri lewat konflik yang sifatnya internal semata. Bagi Nietsche manusia bukanlah semata-mata produk alam sebagaimana Darwin, mengarah pada ubermensch kedudukan ini membuat manusia dalam keadaan bahaya secara Geist dan passions.


Bandung 2009

Prosa: BAGI KEHIDUPAN YANG TAK NAMPAK


Kehidupan adalah jeruji-jeruji besi yang sulit diterka oleh mata matahari sekalipun, dan dengan sendirinya kau akan berada di dalam lembah-lembah hantu yang tak berpenghuni dedaunan, atau sekedar percakapan burung-burung berdada putih. Kau akan merasa sendiri, di dalam kehidupan Musim semi atau musim kemarau yang sudah berlalu menjadikan putra-putra manusia mengadu nasibnya kembali, memergoki kehidupan dengan cinta yang tak apik kepada sesama manusia. Tahu kah engkau? Wahai manusia yang sulit menebak dirinya. Kau sudah menjadi manusia yang gagal ketika, sehelai angin, sahutan langit biru atau gemuruh jantungmu kau tak rasakan sebagai hukum suci. Dan siapakah yang melempari doa ke jurang dosa, kalau masih saja ada yang berbicara tentang kematian kalau ia tak tahu apa itu kehidupan.

Pikiran-pikiran semacam itu terus mendesak pikiranku. Mencari lubang-lubang tersempit di dalam arena kehidupan yang jarang di lihat oleh peri-peri rindu yang kadang hilang dan pergi tanpa di pagari cahaya. Kucabut biang sunyi sekarang juga lalu aku jadikan penengah untuk mencari debu-debu kehidupan. Kehidupan adalah perbudakan? Aku menemukannya dia seperti jubah hitam yang di selendangi oleh wangi-wangian dari balsem kematian. Aku menjadi hening bening wening, sesaat. Kerajaan hening menyerbu seluruh pori-pori tubuhku menjerat urat-urat nadi yang masih bernafas elok.

Dan siapakah yang melempari dosa ke nafas-nafas semesta? Lalu dihirup perlahan-lahan dengan sujud yang tak sempurna. Mengupas sabda-sabda Nabi Golgota yang bersembunyi di tirai cahaya. Siapakah pula yang menghadirkan pulau-pulau kehidupan yang selalu dipergoki oleh yang namanya lembah kematian. O…alangkah malangnya manusia, berlari dengan sehelai doa dengan debu di kepalanya, ingin menduduki pohon-pohon impian di seberang lembah kematian.


2009

Ludahilah Dengan Cahaya

Setiap kota dan orangnya telah berubah
Saya telah lahir kembali lewat airmata disini
Sajadah yang saya susun telah runtuh oleh kegelapan
Perjanjian dengannya telah ditebas oleh tamparan!
Ludahilah saya dengan cahaya
Setiap penyair berdosa. Mengumpat kelembah-lembah.
Mengambil gayung dari ledakan-ledakan Lumpur

2008

Dago

Kepada waktu yang kulalui ternyata masih menyimpan
Daun-daun kering yang menumpuk, wanita yang kehilangan
Penyairnya, serta puisi yang telah lama kutinggalkan
Dan diganti kegelisahan di bukit ini. Ternyata aku masih hidup
Memegang pahatan-pahatan Kanwa yang belum selesai.
Obrolan kita pun makin jauh terpaku pada waktu dan keasingan
Di bukit ini, aku teringat dengan Gazza dan seorang anak yang
Kehilangan kakinya. Di bukit ini aku menyusun bait-bait sajak
Di dalam hati memberi peluang pada alam untuk mendekam
Di dalam pikiranku.

Kepada kepedihan yang kudapati. Diam-diam aku sudah
Bosan dengan sunyi. Aku teringat Tuhan di dalam padepokan
Milik Kanwa. Sepenggal tubuhku aku taruh di sini agar daun-daun
Kering yang menumpuk, patung-patung yang akan di jual ke eropa
Tahu bahwa aku ingin bercerai dengan kesunyian


2009

Philoshopy Romantic

1

Maukah kau diskusi denganku
Tentang agama, filsafat, sastra atau politik
Jangan di restoran percakapan kita dimulai,
Aku paranoid dengan keramaian, karena menjauhkanku
Dengan sunyi. Dan kita akan memasuki sebuah kafe sepi
Di mana kita hanya memesan air putih dan kentang goreng
Di antara makanan-makanan yang orang pesan
Kau masih belum memulai diskusi kita ini
Lalu lonceng jam berbunyi aneh.

2

Karena kau tahu aku tak butuh apa pun darimu
Kita akan pula menukar keyakinan kita masing-masing
Di paling utara angin ribut sudah berisik, mengganggu
Percakapan kita malam ini untuk menggugat keheningan
Dalam diri, mengupas takdir dengan pisau keimanan
Kita pun terluka bersama, sejak diskusi kita dimulai.
Adakah keindahan selain wanita dan dunia, aku bertanya kepadamu
Kau mengelak dan mengerang. Sehingga eranganmu itulah yang paling
Indah, seperti salak anjing yang menggema di samping sudut sunyi


Kau masih belum mau memulai diskusi ini. Terlalu berisik memang
Sepasang muda-mudi yang bertengkar, televisi yang sedang menayangkan
Cerita-cerita ingusan, alunan lagu yang membuatku tambah gila.

3

Hal-hal yang filosofis pastinya yang kau inginkan disini, atau teriakan
Panjang sajak-sajak romantis yang menyimpan keluhan
Yang panjang dan tenang. Di atas meja beberapa lilin mengumbar cahayanya untuk kita, mengupas kembali kegilaan kita pada hakikat sunyi. Dan wajahmu, membuat aku ingin bertasbih kepada-Nya malam ini. Telah Kupenuhi kedua kupingmu dengan
kata-kata yang paling indah sekalipun. Tanpa berhenti, agar diskusi ini kita mulai segera.

Maukah kau diskusi tentang agama, filsafat, sastra atau politik
Denganku malam ini.


2009